Oleh : Abdul Abas
Ketua DPC. Partai Bulan Bintang Gresik.
Perubahan haluan politik Partai Bulan Bintang dalam mensikapi pilpres 2019 melahirkan beragam komentar. Terutama pewaris ideologi masyumi.
Barangkali tulisan ini bisa dijadikan perenungan dan pelajaran bagaimana para tokoh masyumi mensikapi perbedaan sikap politik.
Sebagai penganjur dan penyokong sistem pemerintahan presidensial yang ditolak oleh PNI dan PSI maka Natsir menganggap Masyumi lebih pantas berada di luar pemerintahan.
Apalagi Muktamar Masyumi bulan Desember 1949 menetapkan Ketua Masyumi tidak boleh menjadi menteri. Jika menjadi menteri saja dilarang, apalagi menjadi perdana menteri. Larangan itupun tentu berlaku juga untuk Natsir yang sejak Muktamar 1949 dipilih menjadi Ketua Masyumi.
Namun ketika Bung Karno meminta Natsir menyusun kabinet perrmintaan itu akhirnya tidak bisa dielakkan oleh Natsir.
Dibantu K.H.A. Wahid Hasjim dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Natsir mulai bekerja menyusun kabinet. Natsir-Wahid-Sjafruddin mufakat basis dukungan kabinet mestilah Masyumi dan PNI, dua partai terbesar di masa itu. Tapi ajakan Natsir ditolak oleh PNI. Bung Karno juga gagal membujuk PNI.
Dikritik oleh Teman Separtai
Karena merasa gagal membentuk kabinet dengan basis dukungan Masyumi dan PNI, Natsir menghadap Presiden untuk mengembalikan mandat.
Dua kali Natsir menemui Bung Karno untuk mengembalikan mandat, dua kali pula Presiden menolaknya. Bung Karno malah meminta Natsir meneruskan tugasnya membentuk kabinet.
“Terus saja,” kata Presiden.
“Tanpa PNI?” tanya Natsir.
“Ya. Tanpa PNI,” ujar Bung Karno, tegas.
Inilah pertama kali dalam sejarah, Bung Karno “meninggalkan” PNI yang dia dirikan pada 1927 untuk menyokong Natsir.
Natsir pun melanjutkan tugasnya, dan pada 7 September 1950 terbentuklah Kabinet Natsir tanpa keikutsertaan PNI.
Langkah Natsir itu mendapat kritik keras dari dua tokoh Masyumi: Dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan Mr. Jusuf Wibisono.
Dalam pemungutan suara untuk memberikan kepercayaan kepada kabinet, Soekiman mengatakan terpaksa memberi kepercayaan kepada Kabinet Natsir “karena keadaan”.
Jusuf Wibisono dan Boerhanoeddin Harahap, keluar dari ruang sidang sesaat sebelum voting dilakukan.
Yang menarik, jabatan Ketua Fraksi Masyumi di parlemen yang ditinggalkan oleh Natsir, justru diserahkan kepada Soekiman, orang yang menerima Kabinet Natsir “karena keadaan”.
Memenuhi keputusan Muktamar, sejak dilantik menjadi Perdana Menteri, Natsir menyatakan nonaktif sebagai Ketua Masyumi. Dan jabatan Ketua Partai diserahkan kepada Jusuf Wibisono, orang yang mengeritik Natsir secara terbuka melalui media massa.
Kelak, pada 1955, Natsir mendukung penuh Boerhanoeddin Harahap –orang yang walk-out saat Natsir memerlukan suaranya– sebagai formatur kabinet.
Begitulah cara Natsir memperlakukan para pengeritiknya. Alih-alih membabat habis, pemimpin Masyumi itu malah memberikan tempat terhormat kepada para pengeritiknya.
Anwar Harjono bercerita bahwa di kalangan Masyumi, perbedaan pendapat hal yang sangat biasa.
“Karena yang kami perdebatkan soal partai, maka kami tidak pernah menjadikan perdebatan itu soal pribadi. Kritik setajam apapun tidak pernah melukai hati, karena semuanya terukur,” kata Harjono yang terkenal dengan prinsip hidupnya: “Lawan pendapat adalah kawan berpikir.” Lawan pendapat bukan musuh yang harus dihabisi.(*)
Disadur dari perbagai sumber.