Oleh Yusril Ihza Mahendra
Suaralantang.com, (28/11/2018) – Melanjutkan tulisan beberapa hari yang lalu, saya nukilkan sekelumit kisah sekitar Perundingan Roem Roiyen dan terbentuknya kembali NKRI yang melibatkan banyak tokoh Masyumi di dalamnya. Dalam perundingan Roem Roiyen, Roem menerima usulan Belanda bahwa RI dan Belanda akan sama2 membentuk RIS dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Haag. Konstitusi RIS juga akan disusun di sana. Dengan terbentuknya RIS, maka Belanda akan “menyerahkan” kedaulatan kepada RIS. Roem minta ada kata2 bahwa kedaulatan yang sudah diserahkan itu tidak dapat ditarik kembali oleh Belanda. Belanda setuju.
Apakah semua pemimpin sipil dan TNI bisa menerima ini? Tidak sedikit yang mengecam Roem yang dianggap terlalu kompromistis dengan Belanda. Cikal bakal RIS adalah negara-negara “boneka” ciptaan van Mook, di daerah2 yang berhasil diduduki Belanda sejak Aggresi Militer I. Tujuannya adalah menjalankan politik devide et empera, politik pecah belah.
Lebih jauh dari itu, dalan KMB juga diagendakan untuk dibahas pembentukan “Uni Indonesia Belanda” yang akan diketuai oleh Ratu Belanda. Karena itu tidak heran, dalam verslag Rapat Pengurus Besar Masyumi, tidak lama sesudah statemen Roem Roiyen Mei 1949, tercatat perdebatan sengit antara yang pro dan kontra Roem Roiyen. Natsir termasuk yang tidak setuju Roem berunding mewakili RI karena de fakto dan de jure kekuasaan pemerintah RI ada pada PDRI yang dipimpin Sjafrudin di Bukittinggi. Saat itu, Natsir juga tidak setuju dengan isi Roem Roiyen, walau kemudian dapat menerima dan memahami langkah diplomatis yang dilakukan Roem. Rapat PB Masyumi itu akhirnya dapat menerima isi Roem Rooyen setelah melalui perdebatan sengit.
Jauh di kemudian hari, Natsir mengatakan bahwa ada taktik politik yang dijalankan Roem yang harus dipahami dan diterima. Yang penting, kedaulatan telah ada di tangan kita dan tidak bisa dicabut oleh Belanda. Soal RIS, kata Natsir cukup banyak “kawan2 kita” yang ada dalam struktur negara-negara bagian itu. Dalam waktu cepat RIS “bisa kita bubarkan”. Begitu juga dengan Uni Indonesia Belanda, yang menempatkan Indonesia seperti “dominion” dalam Persemakmuran Britania Raya, juga dapat kita bubarkan.
Natsir benar, cukup banyak orang Masyumi yang masuk ke dalam struktur pemerintahan negara bagian ciptaan van Mook itu. Dari Bangka Belitung, sebagai sebuah “satuan negara yang berdiri sendiri” yang diciptakan van Mook itu, ada tetangga saya KA Djohar yang menjadi Senator Bangka Belitung di Senat RIS. Beliau itu Masyumi tulen tetapi “ikut van Mook”, demikian sebutan di zaman itu. Begitu juga A Hasan, Guru Utama Persatuan Islam di Bandung diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Negara Pasundan yang dipimpin PM A.A. Wiranatakusumah. Natsir mengatakan bahwa cukup banyak orang Masyumi yang masuk ke dalam struktur “negara boneka” van Mook itu sebagai taktik politik, agar suatu ketika dengan mudah mereka dapat membubarkannya.
Saya menanyakan secara khusus kepada Natsir apa sebab Tuan Hasan mau menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Negara Pasundan itu, apakah beliau “kurang begitu mengerti soal2 politik?”. Natsir menjawab sambil tertawa “Orang itu (A Hasan maksudnya) sangat mengerti situasi politik. Beliau sempat bertanya kepada Natsir apakah akan menerima posisi yang ditawarkan Wiranatakusumah itu. “Saya jawab, daripada diisi orang lain yang kita tidak tahu akan ke mana arahnya, lebih baik Tuan Hasan yang mengisi jabatan itu”. Maka jadilah A Hasan, tokoh Persis itu menjadi Menteri Agama dalam kabinet “negara boneka” ciptaan van Mook itu.
Yang paling tidak puas dengan Roem Roiyen tentu adalah TNI yang dipimpin Jenderal Sudirman. Roem, suatu ketika mengatakan kepada saya, bahwa dia bertemu Jenderal Sudirman di Yogya dan mengungkap kekecewaannya mengapa RI harus berunding lagi, padahal sudah tahu Belanda itu selalu ingkar janji. TNI, kata Pak Dirman akan terus melakukan gerilya melawan Belanda.
Tapi Roem tahu, telah beberapa bulan sejak Agresi Militer II Desember 1948, Sukarno, Hatta, Agus Salim, Roem, Ali Sastroamidjojo dll menjadi tawanan Belanda, mula2 di Brastagi dan kemudian dipindahkan Belanda ke Bukit Menumbing, Bangka, tokh tidak bisa dibebaskan TNI dengan cara geriliya atau cara militer apapun. Bahkan dalam catatan sejarah tidak pernah ada kekuatan militer yang digunakan TNI untuk membebaskan para pemimpin yang ditawan Belanda di Pulau Bangka itu.
Roem menempuh cara berunding dan diplomasi untuk mengalahkan Belanda. Apa yang dikatakan Natsir bahwa negara2 bagian atau “negara boneka” ciptaan van Mook memang dibubarkan sendiri oleh para pemimpinnya. Sehingga menjelang Agustus 1950, tatkala Natsir mengajukan Mosi Integral, negara bagian RIS tinggal 3 dari 16 negara bagian. Yang tiga itu adalah RI di Yogya, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur.
Dengan mosi integral, ketika negara bagian bertemu dan sepakat “melebur” ke dalam RI sebagai sebuah negara kesatuan dengan menggunakan Konstitusi RIS yang diubah susunan federalnya menjadi negara kesatuan yang selanjutnya disebut UUD Sementara 1950. Natsir ditunjuk Sukarno membentuk Kabinet pertama NKRI. Dia menjadi Perdana Menteri, Mohamad Roem yang dianggap sangat piawai berdiplomasi diangkat menjadi Menlu RI. Ketika menjadi PM itulah Natsir merumuskan secara jelas Politik Luar Negeri Bebas Aktif yang dibacakan dalam pidato votum kepercayaan di hadapan DPR RI. Natsir mengatakan kepada saya bahwa konsep politik luar negeri bebas aktif yang lebih tajam rumusannya dari rumusan Mohammad Hatta itu, konsepnya dibuat oleh Mohamad Roem.
Itu sekelumit catatan sejarah. Politik itu adalah seni tentang kemungkinan2. Tetapi tidak ada politik tanpa strategi dan taktik dalam rangka mencapai tujuan bersama. Politik terkadang terpaksa melakukan kompromi2. Mereka tahu, tujuan ideal tidak mungkin dapat dicapai seketika. Kadang lawan terlalu kuat untuk dikalahkan, sehingga ada di antara mereka yang terpaksa harus “berpirau”. Ada tahapan2 yang harus dilalui untuk mencapai tujuan bersama.
Para pemimpin Masyumi seperti digambarkan di atas, melakukan aktivitas politik dengan piawai. Ada perdebatan di antara mereka, bahkan terkadang terlibat dalam perdebatan sengit, tetapi tetap dengan bahasa yang sopan dan argumentatif. Hampir tidak terdengar kata-kata kafir-mengkafirkan, tuduhan munafik, “halal darahnya” dan sejenisnya seperti terdengar di zaman sekarang terhadap mereka yang berbeda strategi dan taktik dalam berjuang. Kaum modernis Muslim itu menyadari bahwa kebenaran yang dicapai akal pikiran manusia hanyalah nisbi belaka. Kebenaran absolut itu adalah yang datang dari dari Tuhan Yang Maha Agung. Bisakah generasi sekarang memetik hikmah dari perjalanan sejarah masa lalu agar kita saling menghargai satu sama lain dan tidak merasa paling benar sendiri?