Pidato Presiden Sebut “Bipang Ambawang” Menjadi Polemik, Ini Pendapat Yusril Ihza Mahendra

Suaralantang.com, JAKARTA – Pidato Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang mempromosikan bipang Ambawang khas Ambawang, Kalimantan Barat, menuai perdebatan. Pasalnya, makanan yang berbahan babi ini dipromosikan sebagai oleh-oleh Lebaran Idul Fitri 1442 H.

Akibatnya, Pro dan kontra pun menyusul pernyataan Presiden Jokowi soal bipang Ambawang itu. Ada yang membela, ada juga yang mengkritiknya

Terkait dengan kejadian itu, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, juga angkat bicara berdasarkan pengalamannya sebagai juru menulis pidato tiga Presiden RI, yakni Presiden Soeharto, BJ Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Presiden itu bukan orang yang tahu segala hal sampai detil. Bisa saja Presiden tidak faham apa itu “Bipang Ambawang”, tetapi karena sudah masuk dalam teks (yang kurang terkontrol dengan baik), maka dua kata itu kemudian menjadi kontroversi. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi,” kata Yusril lewat keterangannya kepada Abadikini.com, Rabu (12/5/2021).

Yusril pun menuturkan, pengalaman pribadinya dengan Mensesneg Moerdiono pada era Presiden Soeharto. Moerdiono katakan bahwa Presiden itu bukanlah seseorang yang harus tahu segala hal. Yang wajib tau segala hal itu Mensesneg.

“Saya ingat ucapan alm Moerdiono kepada saya “Presiden itu bukan orang yang tahu segala hal. Yang wajib tahu segala hal itu kita (Mensesneg dan para pejabat di sana). Presiden itu tidak bisa salah. Kalau Presiden salah, maka Mensesneg digantung”. Ucapan Moerdiono mungkin ekstrim, tetapi intinya baik, agar semua staf kepresidenan bekerja ekstra hati-hati,” imbuhnya

Yusril pun menuturkan, pengalaman pribadinya dengan Mensesneg Moerdiono pada era Presiden Soeharto. Moerdiono katakan bahwa Presiden itu bukanlah seseorang yang harus tahu segala hal. Yang wajib tau segala hal itu Mensesneg.

“Saya ingat ucapan alm Moerdiono kepada saya “Presiden itu bukan orang yang tahu segala hal. Yang wajib tahu segala hal itu kita (Mensesneg dan para pejabat di sana). Presiden itu tidak bisa salah. Kalau Presiden salah, maka Mensesneg digantung”. Ucapan Moerdiono mungkin ekstrim, tetapi intinya baik, agar semua staf kepresidenan bekerja ekstra hati-hati,” imbuhnya.

Menurut Yusril, draf pidato dan surat-surat Presiden harus melalui satu pintu untuk sampai ke Presiden. Pintu itu kata Yusril, adalah Mensesneg bukan pejabat yang lain.

“Mensesneg itu menteri, yang secara resmi disebut UUD 45 sebagai pembantu Presiden, yang sekarang tugas-tugasnya diatur dalam UU Kementerian Negara,” jelasnya.

Lanjut Yusril menjelaskan, bahan-bahan bahkan draf Pidato Presiden bisa datang dari kementerian dan lembaga mana saja. Namun sebelum bahan-bahan dan draf itu sampai ke Sekneg, maka menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan itu wajib menyampaikannya ke Mensesneg.

Selanjutnya Mensesneg adalah penangunggjawab akhir semua naskah pidato yang bersifat final untuk diajukan ke Presiden. Pengajuan itu dilakukan dengan sebuah surat pengantar atau memorandum yang secara singkat menerangkan proses penyusunan pidato tersebut dan pokok-poko yang akan diucapkan oleh Presiden

“Memo tersebut diakhiri dengan kata-kata “mohon Bapak Presiden membacakan naskah ini, kecuali Bapak Presiden berpendapat lain”. Naskah dikirimkan ke Presiden paling lambat 1 hari sebelum dibacakan untuk memberi kesempatan beliau membacanya,” jelas Yusril.

Mengapa penulisan naskah pidato presiden harus satu pintu? Banyak alasan untuk itu terang pria asal Belitung Timur yang belajar menulis dan berpidato dari alm bapaknya Idris Bin Haji Zainal serta juga belajar menulis dari Mohammad Natsir, Osman Raliby dan Moerdiono

Pertama, style dan gaya pidato seorang Presiden haruslah disesuaikan dengan kepribadian Presiden yang bersangkutan. Kedua bahasa pidato tersebut harus dimengerti oleh semua kalangan, sehingga “dipahami oleh tukang becak, namun tidak jadi bahan tertawaan para akademisi”.

“Ketiga, isi pidato harus sesuai dengan kebijakan umum pemerintah dan negara. Keempat isi pidato jangan sampai mengandung hal-hal kontroversial yang bisa berbalik menyudutkan dan mengurangi kewibawaan Presiden, bahkan kewibawaan bangsa dan negara,” tegas Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini

Yusril menambahkan, Pidato Presiden, berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diucapkan dalam Bahasa Indonesia.

“Itu adalah naskah resmi. Bisa saja naskah itu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, tetapi teks resmi adalah teks berbahasa Indonesia. Gunanya, jika terdapat kontroversi dalam teks berabahasa asing, maka segala sesuatunya harus dikembalikan ke bahasa aslinya,” katanya.

Sumber : abadikini.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *